Naskah

Naskah Teater : Racun


Karya : Muhammad Arif Ali Wasi

Para Tokoh : Ayah, Lena, Ibu, Bapak, Ibu2, Sinta, Wanita pemabuk.

(Ayah duduk sedang menonton TV, sedangkan ibu membaca majalah dengan gelisah. Sesekali Ayah tertawa terbahak-bahak menyaksikan lawak di TV. Ibu semakin gelisah terutama terganggu dengan sikap Ayah. Kejadian tersebut berulang-ulang, sehingga Ibu kesal lalu dengan segera mengambil remot dari pangkuan Ayah dan mematikan TV)

Ayah : “Loh, kok dimatikan?”

Ibu : “Loh, kok dimatikan? (mengulang perkataan Ayah sembari intonasi menyindir) Papah ini gimana sih?”

Ayah : “Gimana apanya?”

Ibu : “Anak kita tidak pulang selama tiga hari, kok malah diam saja, malah ke asyikan nonton TV! Mana tanggung jawab Papah??!!”

Ayah : “Sudahlah… Kita serahkan permasalahan anak itu pada polisi lalu menjebloskannya ke dalam penjara. Dia harus terima konsekwensi atas perbuatan bejadnya itu! Anak itu memang tidak tau diri.”

Ibu : “Bagaimanapun dia anak kita! Darah daging Papah dan Mamah. Akulah yang merawatnya, aku paham perilakunya!”

Ayah : “Ya! Dia adalah sampah masyarakat berwatak binatang!”

Ibu : “Tidak, pah! Aku yakin dia hanya dijebak oleh pergaulan bebas! Dia tidak sengaja!”

Ayah : “Omong kosong! Aku adalah Ayahnya, tetapi kapan aku lalai mengurusi pergaulan dia! Sudah beribu kali kukatakan bahwa pergaulan itu harus dijaga dengan baik. Dia pun pasti sudah sangat bosan dengan perkataanku, tetapi lihatlah… Dia sudah berhasil menghamili anak orang.”

Ibu : “Roni itu anak yang baik, aku sangat yakin sekali dia terjebak oleh teman sebayanya yang amburadul itu! Aku paham watak Roni, karena akulah yang selalu mengurusnya.”

Ayah : “Kamu hanya bisa memanjakan anak gak tau diri itu! Kau selalu membelanya, padahal sudah jelas ia salah.”

Ibu : “Tapi…” (terpotong)

Ayah : “Sudahlah jangan ganggu, lebih baik aku nonton daripada mendengar radio rusak sepertimu!”

(Ibu mau membalas jawaban Ayah, tetapi ia pendam. Ayah kembali mennton TV, perlahan tetapi ragu, Ibu mendekati Ayah berniat untuk merayu. Hingga ia berada di belakang kursi Ayah)

Ibu : “Papah… (genit merayu) papah ini baik hati, pinta, berpendidikan, tampan, rajin menabung, dan tidak    sombong. Maafkanlah Roni, lebih baik nikahkan Roni dengan wanita yang tidak sengaja Roni hamili…. Ya?”

Ayah : “Tidak!”

Ibu : “Ya…” (genit terpaksa)

Ayah : “Tidak!”

Ibu : “Ya…”

Ayah : “Tidak!”

(Dialog Ya dan Tidak, sampai sepuasnya dengan emosi klimaks)

Ayah : “Tidak!! Tidak!! Tidak!!”

Ibu : “Ya!! Ya!! Ya!!”

Ayah : “Cukup! Papah capek, aku sudah bilang tidak, sekali tidak tetap TIDAK!”

Ibu : “Kenapa sih? Walaupun Mamah tidak suka dengan wanita bunting itu, tetapi itulah jalan terbaik dan jalan damai. Kenapa harus di penjarakan?”

Ayah : “Roni pernah berjanji, harus menerima konsekwensi atas segala perbuatannya. Papah benci, karena Roni telah menyepelekan kepercayaanku. Lagipula ini adalah negera hukum, dia sudah jelas melanggar hukum!”

Ibu : “Seperti yang tidak pernah melanggar saja”

Ayah : “Maksudmu?”

Ibu : “D kursi pemerintahan kau selalu tidur tanpa memberi solusi untuk kesejahteraan rakyat! Membuang putung rokok di sembarang tempat! Memakai mobil dinas untuk urusan pribadi. Apakah itu bukan pelanggaran hukum?”

Ayah : “Kenapa setiap kau emosi, selalu saja membicarakan semua aibku?!?! Biarlah aib menjadi aib yang telah lalu!”

Ibu : “Kalau Aib tak dikatakan, kau tak akan bisa intropeksi diri!”

Ayah : “Hei, sejak kapan kau menjadi istri yang pembangkang?”

Ibu : “Semenjak kau berlaku tak adil pada Roni, anakku!”

Ayah : “Roni juga anakku!”

Ibu : “Heeh!! Percuma bicara dengan Papah! Selalu berbelit-belit, bagimanapun aku tak akan menyerah melindungi anakku!”

(Ibu masuk kamar, keluar panggung)

Ayah : (Berjalan ke kursi dan menonton kembali)

“Heh..! biarlah untuk kali ini, aku harus bertindak tegas!

Dari dulu sampai sekarang Mamah selalu saja memanjakan Roni!”

Dan lihatlah, apa jadinya…

Susah payah dirawat, apa balasannya untuk orang tua?!

Buat malu keluarga saja!!

BUNTINGIN ANAK ORANG???!!!

Hehh.. (mendengus) Memalukan sekali!

(Lena, adik Roni memasuki panggung dan mendekati Ayah yang sedang menonton TV)

Lena : “Papah…” (memijat bahu dari belakang tubuh Ayah)

Ayah : “Kamu dengar pembicaraan Papah dan Mamah, ya?”

Lena : “Hemmm” (ragu)

Ayah : “Kok Hemm? Jawab yang jujur, Lena?”

Lena : “Ya, Lena mendengarnya”

Ayah : “Ingat ya, mulai saat ini kamu harus hati-hati pada pria manapun! Jangan sampai kau terbuai oleh perkataan buaya darat!”

Lena : “Tidak akan, pah..”

(Ayah kembali mendengus kesal)

Lena : “Papah?”

Ayah : “Hemm?”

Lena : “Kak Roni itu…” (terpotong)

Ayah : “Sudahlah, jangan bicara tentang Roni di depan muka papah.”

Lena : “Tapi Lena berada di belakang muka papah?”

Ayah : “maksudnya, papah tidak ingin diskusi lagi masalah Roni! Papah capek setelah duel sama Ibumu. Papah malu sekali perbuatan bejad Kakak kamu itu.”

(Lena berhenti memijat bahu Ayah dan beranjak duduk sembari baca majalah)

Lena : “Pah, Lena itu siapanya Papah?”

Ayah : “Tentunya kamu itu anak kandung papah dan juga Mamah.”

Lena : “lalu Kak Ro…” (terpotong)

Ayah : “Berhentilah membicarakan tentang anak itu!”

(Lena kembali membaca majalah)]

Lena : “Berkumpul bersama keluarga” (berbicara untuk dirinya sendiri)

(Lena mendengus pasrah, lalu menutupi majalah, dan mendekati Photo Roni yang terpajang di dinding tepat di belakangnya)

Lena : (mengusap photo Roni) “Pah, Lena kangen Kak Roni.”

(Dengan sergap Ayah beranjak dari kursi dan mengambil photo dari genggaman Lena lalu membantingnya)

Ayah : “Cukup! Cepat pergi ke kamar!” (marah)

(Lena menangis dan masuk kamar, keluar panggung. Sedangkan Ibu memasuki panggung ketika mendengar benda jatuh. Ibu tidak percaya menyaksikan perilaku Ayah. Ayah terdiam meratapi nasib)

Ibu : “Tadi Mamah yang kau bentak, sekarang Lena yang kau marahi! Kemarin kau usir keluarga anak yang Roni hamili. Mau kamu itu apa? Apakah ini yang namanya kepala keluarga, hah?!?!”

Ayah : “DIAM!!??”

(Ibu terkejut tak percaya)

Ayah : “Jika kamu selalu melawan setiap perkataanku! Akan kuceraikan kamu sekarang juga!”

(Ibu semakin kaget dan menangis rintih)

Ibu : “Baiklah jika itu maumu, aku bersedia.”

Ayah : “Apa?” (tak percaya perkataan Ibu)

Ibu : “Bila kau inginkan perceraian aku terima.”

Ayah : “kamu bicara apa?” Ingat ya, aku hanya memperingati agar kamu tidak semena-mena melawanku!”

Ibu : “Aku tak akan melawanmu jika kamu tidak berbuat salah!”

Ayah : “Berbuat salah bagaimana? Secara hukum dia telah berbuat salah.”

Ibu : “Kau ini memang keras kepala! Andaikan kau jadi ibu, kau akan merasakan apa yang aku rasakan.”

Ayah : “Sudah habis kesabaranku! (berancang-ancang memukul)

Ibu : “Apa??!! Kau ingin memukulku? Pukul?!! Pukul!!! Sekarang juga, Pukul?!”

Ayah : “Talak”

Ibu : “Aku tak peduli”

Ayah : “Talak!!”

Ibu : “Aku tak peduli!”

Ayah : “Talak!!!”

Ibu : “AKU TAK PEDULI!”

(Hening sejenak, terdengar suara hendusan nafas tak beraturan dan tangisan pelan dari Ibu)

Ibu : “Puas, kau?” (menahan emosi)

(Ibu langsung pergi keluar rumah sambil menangis. Lena yang mendengar langsung memasuki panggung dengan menangis dan mengejar Ibu)

Lena : “Mamah… Mamah…” (menangis)

(Ketika mau keluar, Lena ditarik oleh Ayah dan mendorongnya agar Lena duduk di kursi)

Ayah : “Dengarkan papah, Lena. Kamu adalah anak papah, dan kamu harus patuh terhadap papah. Paham??”

Lena : “Tidak!! Papah jahat!!”

Ayah : “Apa kau bilang??!!” (ancang-ancang menampar, tetapi tidak menamparnya)

(Lena ketakutan)

Ayah : “saat ini, kamu akan papah maafkan!”

Lena : “Kenapa sekarang Papah berubah?”

Ayah : “Apa maksudmu?”

Lena : “Kemana Papah yang selalu melindungi keluarga?

Kemana Papah yang selalu menjadi sahabat di keluarga?

Kemana Papah yang selalu mengayomi keluarga?

Kemana Papah yang…” (terpotong)

(Ayah menampar Lena hingga diam terpatung)

Lena : “…pernah berjanji menyayangi kami selamanya?” (Lena menangis)

Ayah : “Lena kamu masih kecil, kau tidak mengetahui perasaan Papah yang sudah di permalukan. Papah adalah kepala keluarga disini.”

Lena : “Papah telah menceraikan Mamah… Papah bukan kepala keluarga lagi..”

Ayah : “Sudah cukup, Lena! Sekarang, masuk kamar dan renungi apa yang telah kamu lakukan!”

(Ayah menarik lengan Lena untuk menyuruhnya ke kamar)

Lena : “Lepaskan!! (lepas dari pegangan Ayah) Baru kali ini, Lena melihat Papah yang bertindak otoriter! Tidak mementingkan perasaan orang!”

(Lena memasuki kamar, suasana hening. Ayah meratapi nasib. Beberapa waktu kemudian, terdengar suara ketukan pintu. Ayah membukakannya)

Ayah : (ketus) “Mau apa lagi kalian kesini?” (berkata pada tamu yang masih diluar panggung)

Bapak : “Kami ingin membicarakan sesuatu yang sangat penting, untuk menyelesaikan semua masalah ini, Pak.”

Ayah : “Baiklah, silahkan masuk.” (masih ketus)

(Ayah mengajak ketiga tamu masuk dan duduk. Tiga orang tersebut adalah Sinta, wanita yang dihamili Roni, serta kedua orang tuanya)

Bapak : “Begini, Pak. Permasalahan ini tidak akan kami bawa ke jalur hukum, jika Roni segera menikahi anak saya, Sinta.”

Ibu2 : “Roni harus bertanggung jawab! Saya tidak mau jika anak saya mengandung tanpa ditemani suaminya!”

Bapak : “Iya! Lebih baik, Bapak jangan menyembunyikan Roni dari kami!”

Ibu2 : “Mentang-mentang anak saya jelek, jangan dijadikan alasan putra Bapak tidak menikahi putrid kami!”

Bapak : “Iya!”

(Sinta dari nangis biasa semakin menjadi-jadi nangisnya karena dibilang jelek)

Bapak : “Sudah nak, jangan terharu.”

Ibu2 : “Iya, kami ikhlas Sinta. Kamu harus kuat ya.”

Sinta : “Iya mah, pah. Tapi Sinta kan tidak jelek.” (merengek-rengek)

(Bapak dan Ibu2 menenangkan Sinta)

Bapak : “kamu sih, mah.. Kalau bicara, jangan menjelek-jelekan Sinta.”

Ibu2 : “Waduh… mamah keceplosan, lagipula papah juga mengiyakan perkataanku, toh?”

Bapak : “papah kan reflek menjawab ucapan mamah!”

(Ayah menegur melalui pura-pura batuk. Bapak dan Ibu2 tenang)

Ayah : “Sudah selesai? Silahkan keluar..” (menunjuk arah pintu)

Bapak : “kami kemari untuk menemui Roni!”

Ibu2 : “Dan hari ini juga, Sinta dan Roni harus menikah. Hey Roni cepat keluar kau! Jangan bersembunyi terus! Jangan jadi pria tak bertanggung jawab! (Menunjuk ke arah kamar)

Ayah : “Bapak dan Ibu yang terhormat, sudah saya katakan kemarin bahwa anak saya kabur dari rumah! Dan saya sudah serahkan permasalahan ini seutuhnya pada polisi. Saya serius!”

Ibu2 : “Anda sudah tidak waras, Pak?”

Ayah : “Enak saja, saya waras! Perhitunganpun masih saya kuasai. 1+1=2, 2+2=4, 3+3=6. Lihalah saya waras!”

Bapak : “Bagaimanapun Roni adalah putra Bapak, bagaimana bisa Roni dibiarkan tertangkap dan nantinya dijebloskan ke dalam penjara?”

Ayah : “Tentu bisa, dia jelas-jelas melanggar hukum.”

Ibu2 : “Hukum bisa ditawar, jika kita sudah ada kesepakatan, Pak!”

Ayah : “Heh… Pantas saja Negara ini bobrok, jika banyak diisi oleh makhluk seperti kalian! Hukum hanya untuk tawar-menawar, cih!”

Bapak : “Anda ini sangat tidak sopan ya.. Maksud kedatangan kami disini untuk damai, menikahi Sinta dan Roni, cukup… hanya itu…”

(Sinta bernjak dari tempat duduk menuju kaki Ayah yang sedang berdiri)

Sinta : “pak, kumohon… Restuilah hubungan kami. Jangan penjarakan Roni, aku tidak ingin calon suamiku dipenjara…” (memohon sambil tidak sengaja menarik celana Ayah)

Ayah : (melepas dari genggaman Sinta) “Ouh.. jangan-jangan, ini cara kamu menggoda anak saya? Dengan menarik celana Roni, begitu?” (membetulkan celana yang agak melorot)

(Sinta menggelengkan kepala, tanda tidak setuju pernyataan Ayah)

Ayah : “Hehh… pantas saja Roni tergoda, karena sesuatu yang harusnya di tutup terlihat oleh wanita lain. Atau mungkin kau menyentuh terdahulu miliknya?”

Bapak : “Hey, pak. Jaga omongan anda ya..!”

Ibu2 : “Sangat tidak pantas!”

Ayah : “Bukankah lebih baik mengetahui penyebab awal terjadinya musibah ini? Terkadang manusia lalai hanya karena tak mengerti penyebab awal menuntaskan sesuatu.”

Bapak : “Baiklah, tak masalah. Sinta! Apakah itu benar?”

(Sinta kembali menggeleng tanda tidak setuju)

Ibu2 : “Sinta sebagai wanita, mamah juga dapat merasakan itu, lalu jawab yang jujur, nak.”

(Sinta tetap menggeleng tapi lama-lama ia mengakui dengan mengangguk)

Ayah : “Hou… hou… hou…! Ternyata benar, Roni akan tergoda karena wanita itulah yang tidak benar! Semua berawal dari wanita, anda tidak akan hamil jika anda berprilaku sesuai dengan norma keberadaban! Heh… Lagi ‘Racun Dunia’ dari The Changcuters ada benarnya.”

(Sinta malu, Ibu2 hanya tertunduk menutup mulut)

Bapak : “Anda jangan menyalahkan, anak saya. Siapa suruh Roni tergoda dan menikmati tubuh anak saya! Lagipula, anak dan Ayahnya pastinya tak jauh beda, anda juga pasti akan melukakan hal yang sama bila terjadi pada anda!!”

Ayah : “Hey, sebaiknya pertanyaan itu diajukan pada anda sendiri!”

Bapak : “Saya bertanya kepada anda!”

Ayah : “Anda dahulu yang menjawab dengan jujur, setelah anda, saya akan menjawab dengan jujur.”

Bapak : “Baiklah, Ya!” (ragu)

Ayah : “Nah… sudah terbukti anak dan ayah yang tidak jauh beda adalah kalian sendiri. Saya sudah tentu, tidak akan melakukan hal haram seperti itu!”

Ibu2 : “papah! (tak percaya) kamu tidak ada bedanya dengan lelaki hidung belang! (nangis sempat ditenangkan Bapak, lalu keluar panggung)

(Bapak pamik, lalu menarik lengan Sinta untuk keluar panggung)

Bapak : “Hey, Pak Tua. Suatu saat kau pun akan terpuruk! Encamkan itu!” (keluar panggung)

Ayah : “Ya.. ya… ya… Sebaiknya kau makan omonganmu sendiri.” (menyindir)

(Lampu redup tapi tidak mati, Ayah memasuki kamar. Suasana panggung hanya terdengar bunyi detakan jarum jam yang mensuasanakan heningnya malam. Beberapa waktu kemudian, terdengar suara ketukan pintu yang tidak beraturan. Ayah memasuki panggung dengan memakai baju tidur, Ayah langsung membukakan pintu. Saat dibuka, tiba-tiba masuk seorang wanita pemabuk berpakaian mini, sempoyongan dan akhirnya terduduk lemas di kursi ruang keluarga. Ayah awalnya terkejut dan heran, lama-lama Ayah dekati wanita mabuk itu. Dipandanginya wanita itu, kemudian tiba-tiba wanita tersebut berdiri dan menarik kerah baju Ayah dan dibawanya ke kamar. Ayah mengikuti saja tanpa melawan. Panggung kembali sunyi kembali, dan hanya terdengar suara detakan jarum jam. Lampu kembali terang, diikiti Lena memauki panggung dengan mengusap matanya tanda habis menangis, setelah itu pandangannya tertuju pada pintu depan rumah yang terbuka. Lekas, ia mendekati pintu rumah yang terbuka tersebut.)

Lena : “Papah? Papah?”

(tak ada jawaban)

Lena : “Papah?”

(Ayah membukakan pintu kamar dan memasuki panggung dengan kondisi memakai kaos dalam dan celana pendek, serta ada bekas lipstik di pipi dan di dadanya)

Ayah : “Kenapa?” (lemas mengantuk)

Lena : “Pintu? Terbuka?” (menunjuki pintu)

(Ayah menuju tengah panggung, Lena juga menuju tengah panggung memperhatikan lipstik yang terdapat pada tubuh Ayahnya)

Lena : “Pah? (heran+prihatin) bekas bibir siapa?

(Ayah dari lema , saat melihat ada beka lipstik langsung tegang. Dan segera menghapusnya)

Ayah : “Mam… mam…. Ma… mah…” (gagap)

(Wanita pemabuk keluar kamar dengan pakaian mini ditutupi selimut)

WP : (mendekati Ayah dan menamparnya) “Brengsek! Semalam kau telah merampas keperawananku, kurang ajar! Lelaki bajingan!” (menampar lagi)]

(WP keluar sembari menangis)

Ayah : “Tunggu…”

WP : “Apa lagi?”

Ayah : “Selimutku…”

WP : “Sialan!” (melemparkan sepatu)

(WP keluar panggung, Lena benar-benar tidak menyangka perilaku Ayahnya. Lena menahan tangis tak bisa berbicara, Ayah mencoba menenangkan Lena tetapi dibalas dengan tepisan tangannya. Seketika ia memasuki kamar)

Ayah : “Keluar dulu, Lena! Papah ingin menjelaskan semua ini.”

(tak ada respon, Ayah berjalan lemas menuju kursi dan duduk di kursi. Tak lama kemudian, Lena keluar dengan membawa Tas dan memakai jaket, Lena berusaha keluar rumah tetapi berhasil ditahan Ayah)

Ayah : “Lena, kamu mau kemana?!”

Lena : “Lepaskan, pah! Dulu Papah pernah bilang, kalau Lena harus hati-hati sama pria buaya darat! Aku tidak mau tinggal serumah dengan papah yang tidak jauh beda dengan lelaki hidung belang!”

Ayah : “Lena, dengarkan dulu penjelasan papah!”

Lena : “Penjelasan apa lagi, Pah?!? Semua sudah cukup jelas Papah hanya bisa berteori indah, tapi prakteknya kotor!”

Ayah : “Kamu adalah anak kandung papah, jaga omonganmu pada orangtua, dan kamu harus patuh perintah Papah!”

Lena : “Aku juga anak kandung Mamah, lebih baik aku mengikuti perintah mamah daripada perintah Papah yang maunya menang sendiri!”

(Ayah bersiap-siap mau menampar, tiba-tiba terserang penyakit jantung. Hanya memegangi dada dan duduk menahan rasa sakit)

Lena : “Andai ada kebebasan anak untuk menasehati orang tua yang salah, pastilah papah akan menyadari betapa banyaknya kesalahan yang papah perbuat.”

Ayah : “Cepat pergi dari sini!!!” (menahan sakit jantung)

(Lena pergi dari rumah, meninggalkan Ayah sendiri di panggung. Perlahan penyakitnya mereda)

Ayah : (monolog)

“Kenapa keadaanku seperti ini…

Kenapa wanita menjadi racun pada hidupku…

Tak adakah suatu massa, dimana wanita bersih dari racun??

Ha… Ha… Ha….

Racun… Racun… Racun…

Racun telah aku minum..

Racun telah aku telan…

Racun haram telah menjadi Racun halal…

Kenapa harus dengan Racun??

AKKhhh… Aku benci Racun Dunia…!!!!

(Penyakit jantung Ayah kumat, kali ini semakin parah. Ayah merasa kesakitan. Lampu kelap-kelip menyinari panggung. Nuansa pusing tergambarkan. Perlahan tirai tertutup)

SELESAI

2 tanggapan untuk “Naskah Teater : Racun”

  1. Hi dan apa khabar encik ali. Saya seorang penuntut teater dari Malaysia ingin meminta kebenaran encik ali untuk menggunakan nashkah ini di pentas teater saya. Dan bolehkah kiranya jika saya mengolah skrip ini dalam bahasa malaysia? Saya minta kerjasama encik ali untuk membalas petikan ini secepat mungkin. Terima kasih.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.